Sumber: Investor Daily (02/03/2020)
JAKARTA - Pelaku industri manufaktur menunggu kepastian
penurunan harga gas bumi seperti yang dijanjikan pemerintah. Hal ini diyakini
dapat meningkatkan daya saing sekaligus memperbaiki iklim industri manufaktur
nasional.
Sementara itu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin)
meyakini penurunan harga gas membuat target pertumbuhan industri 5,3% tahun ini
tercapai. Sesuai rencana, pengumuman penurunan harga gas bakal dilakukan pada
Maret 2020.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang
Penetapan Harga Gas Bumi, pemerintah menjanjikan penurunan tarif gas industri
ke level US$ 6 per million metric british thermal units (mmbtu). Perpres itu
menyebutkan, tujuh sektor yang mendapatkan ketetapan harga gas itu yakni
industri oleokimia, pupuk, petrokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan
karet.
Ketua Umum Asosiasi Aneka Keramik (Asaki) Edy Suyanto
mengapresiasi rencana pemerintah menurunkan harga gas industri US$ 6 per mmbtu
pada April mendatang. Dia menuturkan, biaya energi atau gas pada industri keramik
berkisar 30-35% dari biaya produksi. Harga gas untuk industri keramik di Jawa
bagian barat mencapai US$ 9,16 per mmbtu, Jawa bagian timur US$ 7,98 per mmbtu,
dan Sumatera US$ 9,3-20 per mmbtu
Saat ini, Asaki memiliki 32 anggota industri keramik ubin
dengan total kapasitas terpasang 537 juta meter persegi (m2). Utilisasi
mencapai 64,5% atau 347 juta meter persegi pada 2019 dan dapat meningkat
menjadi 95% jika harga gas dapat diturunkan tahun ini. “Peningkatan hingga
90-95% akan turut menyerap tenaga kerja sekitar 1012 ribu orang,” ujar dia di
Jakarta, pekan lalu.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Oleochemicals Indonesia (Apolin)
Rapolo Hutabarat meyakini, penurunan harga gas industri akan mendukung target
pertumbuhan ekonomi sebesar 6% dan terwujudnya aktivitas hilirisasi di
Indonesia. “Selama empat tahun, pelaku industri oleokimia menantikan regulasi
itu bisa terlaksana dan dapat diimplementasikan. Apalagi, industri oleokimia
termasuk tujuh sektor industri yang masuk dalam Perpres,” papar dia.
Berdasarkan data Apolin, kebutuhan gas industri oleokimia
mencapai 11,7-13,9 juta per mmbtu dari 11 perusahaan anggota Apolin. Saat ini,
industri oleokimia harus membayar harga gas industri rata-rata US$ 10-12 per
mmbtu. Variasi harga gas untuk industri oleokimia itu bergantung lokasi dan
jarak.
Dalam struktur biaya, biaya gas berkontribusi 10-12% untuk
produksi fatty acid dan 30-38% dalam menghasilkan fatty alcohol beserta produk
turunan di bawahnya. Apabila Perpres No 40/2016 bisa dijalankan untuk industri
oleokimia, dengan asumsi nilai tukar rupiah Rp 14.300 per dolar AS, disebutkan
akan adapenghematan US$ 47,6-81,8 juta per tahun atau Rp 0,68-1,1 triliun per
tahun.
Sementara itu, Sekjen Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan
Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono menuturkan, penurunan harga gas akan
memberikan empat dampak positif, yaitu biaya produksi turun, harga jual turun,
memperkuat daya saing ekspor, dan daya beli masyarakat meningkat.
Saat ini, dikatakan Fajar, industri petrokimia mesti membeli
gas sebesar US$ 9,17 per mmbtu. Pada tahun ini, kebutuhan gas 24 industri
petrokimia mencapai 74 billion british thermal unit per day (BBTUD). “Yang
harus dipahami, turunnya harga gas dapat menggerakkan industrialisasi sehingga
pertumbuhan ekonomi nasional berpeluang bisa lewati 5%,” jelas dia.
Ketua Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) Yustinus
Gunawan menjelaskan, pelaku industri menunggu kepastian untuk penurunan harga
gas yang diharapkan bisa segera terlaksana. Sebab, para investor meminta
implementasi Perpres No 40/2016 bisa dijalankan secepatnya agar mendukung daya
saing dan iklim usaha yang kondusif.
Peneliti senior di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan
Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, TM Zakir Machmud
menyatakan, penurunan harga gas industri dalam jangka pendek dinilai dapat
mengurangi penerimaan negara. Namun, dalam jangka panjang, diyakini akan
memberi manfaat lebih besar bagi negara seperti dari tambahan pajak seiring
pertumbuhan sektor industri.
“Harga input yang tidak kompetitif adalah isu utama di
industri manufaktur. Salah satu input itu adalah energi, termasuk gas
industri,” ujar dia.
Menurut Zakir, harga energi yang tidak kompetitif akan
membuat harga hasil produksi industri menjadi tidak dapat bersaing. Upaya
menurunkan harga gas industri dilakukan agar produk yang dihasilkan industri
manufaktur dalam negeri bisa kompetitif termasuk saat harus bersaing dengan
produk impor.
“Permintaan sisi industri seperti ini, kalau mau mendorong
industri, jangan ditarik di depan, tetapi tariklah di belakang. Kalau harga
input murah, industri bergerak. Dari situlah akan didapat tambahan perolehan
pajak,” papar dia.
Target Menperin
Sementara itu, Kemenperin menilai, penurunan harga gas
industri akan menopang daya saing dan produktivitas industri manufaktur
nasional. Apabila harga gas industri dapat ditekan hingga US$ 6 per mmbtu,
target pertumbuhan industri manufaktur sebesar 5,3% pada 2020 tercapai.
Sejumlah besar industri manufaktur dalam negeri membutuhkan
gas, baik sebagai energi maupun bahan baku dengan harga yang kompetitif. Itu
artinya, gas berperan penting terhadap daya saing sejumlah sektor industri.
Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita
mengatakan, beberapa hal yang menjadi latar belakang pemerintah untuk mendorong
penurunan harga gas industri antara lain biaya produksi, harga jual produk,
serta permintaan pasar. Bagi industri yang menggunakan gas sebagai bahan baku,
seperti industri tekstil hulu, petrokimia hulu, pupuk, keramik dan kaca, harga
gas merupakan bagian dari struktur biaya yang cukup besar.
Menurut Menperin, penurunan harga gas juga memiliki efek
berganda, seperti peningkatan produksi, peningkatan PDB, meningkatnya
keuntungan pada industri-industri yang menggunakan gas sebagai bahan baku, serta
meningkatkan jumlah tenaga kerja. Dia mengatakan semakin kecil harga gas,
semakin besar pula keuntungan yang diterima oleh semua pihak.
Dia menceritakan, untuk sektor industri teksil, gas memakan
biaya produksi sebesar 25% dan saat ini harganya berkisar US$ 9-12 per mmbtu.
Ini menyebabkan daya saing menjadi lemah. Bagi sektor industri hulu, akibat
tingginya harga gas industri, utilisasi produksi cenderung rendah di kisaran
45%, sehingga sebagian besar industri tekstil dan produk tekstil (TPT) hulu menurunkan
kapasitas produksi.
Pada industri petrokimia, dia melanjutkan, harga gas
mempengaruhi 70% struktur biaya. Selain itu, belum adanya pasokan bahan baku
etilena, propilena, polietilena (PE), polipropilena (PP), DME, dan industri
turunannya dari dalam negeri berpengaruh pada lambatnya pertumbuhan hilir
metanol. Dari aspek perdagangan, hal tersebut menyebabkan tingginya impor bahan
baku metanol.